Denpasar, Jakarta Review - Untuk membantu pemerintah, kalangan bisnis, dan masyarakat umum, Majalah GEO ENERGI bekerja sama dengan AEG dari Singapura kembali mengadakan seminar Internasional tahunan bertajuk “3rd Annual LNG Transport, Handling & Storage Conference 2013”, yang dilaksanakan di Padma Resort, Jl. Padma No. 1, Legian, Bali, pada Selasa-Rabu, 28-29 Mei 2013.
Pelaksanaan seminar
tahun ini merupakan tahun ketiga, yang selalu sukses dihadiri kurang lebih 160 peserta.
Sebagian besar, sebanyak 60 persen peserta berasal dari luar negeri dan 40
persen peserta dari dalam negeri. Kesuksesan ini tak terlepas dari para
pembicara yang cukup kompeten di bidangnya.
Pada seminar yang
ketiga ini, acara akan dibuka oleh Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswo Utomo pada
Selasa, 28 Mei 2013, pukul 09.00 WITA yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang
antara lain menghadirkan Rudi Rubiandini (Kepala SKK MIGAS), Dr.
Qoyum Tjandranegara (Komisioner BPH Migas), Hendi Prio Santoso, (Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara, PGN),
Nanang Untung, (CEO &
President Director PT BADAK NGL), Lukman
Mahfoedz (CEO & Presiden Direktur PT MEDCO ENERGI) , Hendra
Jaya President Director PT
NUSANTARA REGAS, Achmad Widjaja, KADIN
Indonesia.
Pada hari kedua, Rabu 29 Mei 2013, diskusi akan
diisi oleh Salis Aprilian (Senior Vice President – Gas & Power PT
PERTAMINA), Suryadi
Mardjoeki, (Head of Gas and Fuel Oil Division PT PLN), Thomas Suhartanto
(Vice President – Business Development, PT PERTAMINA GAS), Carmelita Hartoto (Chairwoman
INDONESIAN NATIONAL
SHIPOWNERS ASSOCIATION), Theo Lekatompessy, President Director,
PT HUMPUSS INTERMODA
TRANSPORTASI.
Dan pembicara
dari luar negeri antara lain Mr. Giulio
Tirelli (Director 4-stroke Portfolio & Applications WARTSILA), Methar Thongma (Manager – NGV Business & Product Development
Division PTT PUBLIC COMPANY LIMITED),
Alexander Harsema-Mensonides
(Senior Engineer Business Development MARINE SERVICE GMBH)
Mengapa tema yang dipilih selalu masalah LNG, sebab,
kebutuhan LNG pada tahun-tahun meendatang akan semakin meningkat di tengah
melambungnya harga minyak dunia. Di samping itu, bahan
bakar minyak, cepat atau lambat harus mengikuti
harga internasional. Artinya subsidi BBM perlahan akan dicabut.
Untuk menjaga ketahanan energi, maka
kita tidak bisa lagi hanya mengharapkan bahan bakar minyak.
Pada dekade mendatang, permintaan LNG melonjak tinggi.
Menurut proyeksi lembaga konsultan global Wood Mackenzie, pada 2025 India akan
mencatatkan pertumbuhan permintaan LNG sebesar 20 juta ton.
Mulai 2020, China akan meningkatkan penggunaan gas hingga
tiga kali lipat dari saat ini. Itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan
kepada batubara. Untuk tahun ini saja, China akan memiliki proyek impor gas
sekitar 10 million tons per annum (mpta).
Pertumbuhan permintaan LNG sedunia selama ini ditentukan
sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Cina, dan Jepang. Pertumbuhan
permintaan LNG dunia dalam 10 tahun mendatang, yang sebagian besar disokong
Asia, diperkirakan memperketat pasar spot LNG.
Pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara dan tingginya permintaan
akan listrik di negara-negara kawasan ini mendorong permintaan LNG di Asia.
Pada saat yang sama, pasokan LNG antar negara Asia Tenggara akan semakin
berkurang. Di luar Asia, pertumbuhan pasar LNG ke depan juga akan ekspansif
dari kawasan Amerika Utara.
Di pasar domestik, permintaan LNG juga akan terus menanjak.
Hingga tahun 2020, pertumbuhan permintaan LNG didorong oleh melonjaknya
kebutuhan dari berbagai sektor. Porsi pembangkit listrik baru PLN berbahan
bakar gas sekitar 8-10% per tahun. Pada tahun 2020, 30% kapasitas Pembangkit
Listrik PLN akan menggunakan gas.
Kebutuhan gas dari Industri, selain pupuk, seperti sektor
logam, keramik, kertas, kaca dan makanan, diperkirakan tumbuh 5-7% hingga tahun
2020. Pada tahun 2020, 65% dari sektor industri tersebut akan mengonsumsi gas.
Sementara kebutuhan gas bagi pabrik pupuk juga meningkat sekitar 5-6% per
tahun.
Program konversi BBM ke gas akan turut mendorong konsumsi
gas ke depan. Pada 2020, diperkirakan 50% kebutuhan bahan bakar minyak di Jawa,
Sumatra dan Kalimantan dapat dikonversikan ke gas.
Di luar itu, peluang baru muncul. Pemerintah tengah
menjajaki kemungkinan memanfaatkan LNG untuk sumber energi penggerak mesin
kapal laut. "Selama ini kan kapal laut terutama kapal perintis masih
menggunakan bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis solar. Kalau menggunakan gas
lumayan bisa mengurangi subsidi BBM," kata Pelaksana tugas Dirjen Migas A.
Edy Hermantoro, akhir Januari lalu.
Langkah ini menambah deretan peluang makin panjang.
Sedangkan dari sisi pasokan, prospek industri LNG nasional sangat didukung jumlah
sumber daya gas alam yang dimiliki. Menurut perkiraan geologis, jumlah sumber
daya migas yang berada di 60 cekungan di darat dan lepas pantai sekitar 70
miliar barrel (bbls) minyak bumi dan sekitar 330 triliun kaki kubik (tcf) gas
alam. Sementara jumlah cadangan yang bisa diproduksi dengan kondisi teknologi
dan ekonomi saat ini (proven reserves) sekitar 5 bbls minyak dan 92 tcf gas
bumi.
Captive market
Peluang terbuka lebar lantaran kebutuhan dan pasokan tidak
linier. Berdasarkan data PT Pertamina Gas, neraca gas di Jawa Tengah dan Jawa Barat diprediksi bakal
terus negatif dari 2013 hingga 2020. Sementara neraca gas di Jawa Timur terus
positif dalam kurun waktu ini.
Pada 2013 total
kebutuhan gas untuk industri mencapai 2.491 juta standar kaki kubik per hari
(mmscfd). Namun pasokan baru bisa dipenuhi 1.913 mmscfd. Hanya Jawa Timur yang mampu dicukupi pasokannya sendiri.
Pasokan di kawasan tersebut mencapai 854 mmscfd, sedangkan kebutuhan hanya
sebesar 717 mmscfd.
Jawa Barat dan Jawa Tengah masih akan kekurangan pasokan gas
hingga 578 mmscfd. Pasokan gas untuk Jawa Barat baru terpenuhi 1.026 mmscfd,
dari total kebutuhan 1.704 mmscfd dan Jawa Tengah baru terpenuhi 33 mmscfd,
dari total kebutuhan 71 mmscfd.
Kebutuhan gas di Jawa pada 2020 akan melonjak jadi 3.388
mmscfd sementara dari kontrak yang ada sekarang baru dapat dipasok sebesar
1.680 mmscfd. Posisi pasokan gas untuk Jawa Timur tetap berlebih hingga tahun
2020 sementara Jawa Barat dan Jawa Tengah masih defisit.
Dengan kondisi demikian, kawasan Jawa adalah captive market. Besarnya peluang pasar
konsumen gas di Jawa tersebut mencapai 578 mmscfd pada 2013, dan melonjak jadi
1.708 mmscfd pada 2020. Atau, jika dikapitalisasi dalam nilai pasar, peluang
captive market pengguna gas yang sudah pasti di Jawa mencapai US$ 1 miliar atau
hampir Rp 10 triliun jika menggunakan asumsi harga gas US$ 5 per mmbtu. Captive
market ini akan melonjak hingga tiga kali lipat mencapai US$3 miliar atau
hampir Rp 30 triliun pada 2020.
Pemain di bisnis LNG juga masih sedikit. Saat ini, Indonesia
baru memiliki tiga kilang LNG, yaitu kilang LNG Arun yang berkapasitas 12,85
Million Metric Ton Per Annum/MMTPA, Kilang LNG Bontang dengan kapasitas 21,64
MMTPA dan Kilang LNG Tangguh yang berkapasitas 7,6 MMTPA.
Ke depan, direncanakan akan dibangun lagi tiga kilang LNG. Pertama, Kilang Donggi Senoro LNG akan
dibangun tahun 2014 dengan proyeksi pasokan gas sebesar 335 Million Metric
Standard Cubic Feet Per Day/MMSCFD, yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan
domestik sebesar 30 persen dan ekspor 70
persen. Kedua, kilang Masela LNG yang
akan dibangun tahun 2016, dengan kapasitas 4,5 MMTPA. Ketiga, kilang Natuna LNG
direncanakan dibangun tahun 2022.
Agaknya, peluang ini pula yang turut mendorong sejumlah
perusahaan asing dan lokal akan turut mengembangkan LNG di dalam negeri.
Konsorsium Pertamina, PGN dan PLN telah
menyiapkan rencana untuk mengembangkan terminal penerimaan regasifikasi unit (floating storage
regasification unit/FSRU). Saat ini FSRU di Teluk
Jakarta telah beroperasi. Tidak lama lagi akan dibangun FSRU di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Halmahera,
Maluku Utara, Telo dan Minahasa, Sulawesi Utara.
Selain BUMN, ada juga swasta. PT Shell Indonesia (Shell) belum lama
ini meneken nota kesepahaman (MoU) bersama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk
menjajaki potensi pengembangan dan pengoperasian LNG berskala kecil di
Indonesia.
PT Humpuss Intermoda Transportasi bahkan sudah ancang-ancang.
Mulai tahun ini, Humpus akan fokus pada proyek pengadaan kapal LNG Array dan
intermoda offshore. Untuk itu, Humpuss telah menyiapkan pendanaan senilai US$
120 juta atau sekitar Rp1,15 triliun.
Dengan
kondisi regional dan global seperti itu maka sebenarnya saat ini merupakan saat
yang tepat untuk terjun ke bisnis LNG. Bila modalnya besar, bisa mencoba
mengeksplorasi blok-blok LNG di Indonesia yang masih belum tergarap.
Bila ingin meniru Pavilion Energy, unit
bisnis LNG Temasek, dengan cara membangun infrastruktur penerima, untuk memenuhi
kebutuhan domestik.
Hal ini
mengingat untuk membangun infrastruktur tersebut dibutuhkan waktu 3 hingga 5
tahun.
Atau bila modalnya relatif kecil, yang dilakukan Himpunan
Wiraswasta Nasional (Hiswana) Minyak dan Gas Bumi Jawa Timur bisa menjadi
contoh. Mereka patungan guna menginisiasi pengembangan depot pengisian LNG
untuk wilayah Surabaya dan sekitarnya. Investasinya cukup dengan Rp 170 miliar
per unit. Tak ada rotan, akar pun jadi. (Sri Widodo Soetardjowijono).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar