Kamis, 17 Maret 2011

Perizinan Menjadi Kendala Utama dalam Pengembangan Geothermal

Birokrasi masih menjadi masalah yang serius di republik ini, apalagi jika beraitan dengan kegiatan pengeboran. Izin pengeboran untuk memanfaatkan panas bumi bisa mencapai puluhan izin. Ini salah satu yang menghambat pemanfaatan panas bumi di Indonesia.

Demikian dikemukakan oleh Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, (Ditjen EBTKE) Sugiharto Harsoprayitno dalam acara diskusi yang diadakan oleh Majalah GEO ENERGI dengan tema “Harga BBM Naik, Saatnya Beralih ke Panas Bumi”, Kamis, 17 Maret 2011 di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta.

Izin-izin yang tidak lazim seperti itu membuat pelaku bisnis panas bumi menjadi takut. Ia mengibaratkan seseorang yang hendak membuka warung. “Sudah jelas mau bikin ruko, tetapi ada saja persyaratan yang diminta. Ada izin retribusi, izin lingkungan, izin HO, dan sebagainya. Seharusnya kan hanya izin ruko, titik,” katanya.

Gambaran seperti ini, kata Sugiharto adalah gambaran yang terjadi pada proses pemanfaatan panas bumi. Otonomi daerah menjadi salah satu biang keladi sulitnya perizinan. Sugiharto mengibaratkan pemerintah daerah seperti kerajaan.

Ia juga menyatakan keheranannya, mengapa izin primer bisa dihentikan oleh izin yang lain. “Ini kan super aneh,” katanya heran. Pada prinsipnya, menurut Sugiharto, para pengusaha itu membutuhkan kepastian hukum dan kepastian usaha. Maka dari itu, hendaknya pemerintah daerah tidak mempersulit para pengusaha yang ingin mengembangkan panas bumi, mengingat pemerintah tidak mampu jika mengembangkan sendiri.

Pemerintah saat ini memang sedang menggalakkan sumber energi alternatif pengganti minyak bumi, salah satunya adalah panas bumi. Akan ada 9 wilayah kerja panas bumi (WKP) yang bakal digarap tahun ini.

Kesembilan WKP ini masih menunggu proses negosiasi PPA (Power Purchase Agreement/perjanjian jual beli listrik) serta penugasan pembelian listrik dari pemerintah ke PLN.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan (EBT) PT PLN, Mochammad Sofyan seusai acara diskusi bulanan Geo Energi di hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (17/3/2011).

"Dari 9 WKP tersebut, 3 di antaranya sedang menunggu proses negosiasi PPA dan 6 WKP lain masih menunggu menunggu penugasan Peraturan Menteri ESDM No.2/2011 tentang pembelian listrik panas bumi)," kata Sofyan.

Dalam paparannya, Sofyan menjelaskan 3 WKP yang menunggu proses PPA adalah WKP Rajabasa, WKP Muaralaboh, dan WKP Sokoria. Sementara 6 WKP yang masih menunggu penugasan dari peraturan Menteri ESDM adalah WKP Jaboi, Cisolok, Tampomas, Tangkuban Perahu I, Ungaran, dan Jailolo.

"Yang tiga WKP itu saya harap bisa selesai dengan cepat negosiasinya. Untuk yang Rajabasa dan Muaralaboh kan pengembangnya dari Supreme Energy. Untuk yang di Sokoria pengembangnya Bakrie," jelas Sofyan.

Untuk 3 WKP tersebut, Sofyan belum bisa mengatakan waktu pasti penandatanganan PPA. Saat ini masih dibahas term and condition terkait negosiasi tersebut. "Kita masih negosiasikan beberapa item terkait penjaminan, pembangunan transmisi, dan beberapa yang masih negotiable. Saya belum bisa katakan," tukas Sofyan.

"Untuk kapasitasnya, yang di Rajabasa dan Muaralaboh itu lumayan besar. Masing-masingnya berkisar 200 MW. Hanya yang di Sokoria saja kecil, cuma 5 MW. Sedangkan, 6 WKP lain kita tinggal menunggu penugasan dari Permen saja. Namun IUP untuk 6 WKP tersebut sudah ada," tambah Sofyan.

Seperti diketahui, pada 11 Maret lalu pihak PLN telah menandatangani 6 WKP untuk pengembangan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi). Dari 6 WKP yang sudah diteken tersebut, 5 WKP dikembangkan oleh Pertamina Hulu Energy, sedangkan 1 WKP dikembangkan oleh swasta (IPP/Independent Power Producer-Pembangkit Listrik Swasta).

Sedangkan, 9 WKP yang dikabarkan siap digarap ini keseluruhannya akan dikembangkan oleh pihak swasta. Firdaus Sulaeman - Jakarta Review.