Rabu, 22 Oktober 2008

Kasus Tanah Kedubes Arab, Pemerintah RI Ceroboh

Sengketa tanah yang sekarang dikuasai Kedubes Arab Saudi, terjadi sejak tahun 1971. Kasus yang telah memakan waktu lebih dari 30 tahun itu, “beres” oleh sebuah ketukan palu di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla.

“Itu tidak lazim,” kata praktisi hukum Lukas Sukarmadi. Persoalan tanah menurut Lukas biasanya merupakan perkara perdata, maka seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum.

Meski tidak lazim, Lukas bisa memahami campur tangan pemerintah di sini. “Ada masyarakat yang menggugat kedutaan besar negara asing, karena rasa malu, menyangkut harga diri bangsa, maka negara ikut campur tangan untuk mencari jalan tengah. Ini bisa saya pahami,” papar kepada Jakarta Review, Senin, 20 Oktober 2008.

Hanya saja, lanjut Lukas, dari kasus ini bisa ditarik kesimpulan bahwa pemerintah ceroboh, pemerintah tidak teliti, dan pemerintah mau enaknya sendiri. Padahal kalau pemerintah mau jujur mengakui, kesalahan itu jelas ada di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Mengapa sampai hari ini masih banyak terjadi kepemilikan dobel, bahkan lebih dari dua, tiga atau empat. Bukankah lembaga yang paling tahu soal pertanahan adalah BPN.

Campur tangan pemerintah dalam masalah tanah di Kedubes Arab itu hanya satu dari puluhan ribu kasus pertanahan yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh, kasus sengketa tanah di Pasuruan belum selesai, sudah timbul lagi kasus yang serupa di Rumpin, Bogor. Kedua kasus itu pun melibatkan persengketaan antara warga dengan TNI AL.

Kita juga masih ingat kasus SMP 56 Melawai Jakarta Selatan. Bagaimana terjadi persengketaan antara dinas pendidikan dengan Abdul Latif Corp. (pemilik modal) yang notabene daearah itu akan dibangun pusat bisnis. Belakangan, dari hasil persidangan dimenangkan oleh pihak pemilik modal. Masih banyak kasus persengketaan tanah lainnya. Anehnya, masalah ini seakan menjadi sebuah kewajaran.

Dalam kasus Kedubes Arab Saudi, pemerintah yang tadinya berharap nama baiknya akan tetap terpelihara, tetapi faktanya pemerintah tidak bisa menutupi kebobrokannya. “Kalau ada pemegang sertifikat tanah lebih dari tiga orang, sementara yang mengeluarkan surat tanah adalah BPN, lalu kepada siapa lagi kita mendapatkan keadilan atas tanah kita. Sertifikat ganda seperti itu sangat sering terjadi di Indonesia,” papar Lukas.

Pemilik Trisaka International Law Firm itu melihat, salah satu penyebab yang memunculkan masalah tanah adalah Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Ada dua hal yang perlu dipertanyakan dari Perpres ini yakni berkenaan pelepasan hak dan pencabutan hak. Di sini presiden punya keleluasaan untuk mencabut hak atas tanah. Apabila tidak tercapai kesepakatan antara pemilik tanah dengan panitia pengadaan tanah, maka ditempuh dengan proses yang cukup instan. Yakni hanya perlu waktu 90 hari untuk menyelesaikan prosesnya.
“Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, rakyat secara sukarela harus menyerahkan kepada pemerintah dengan dalih untuk kepentingan umum dan jika tidak mau tetap akan dirampas,” papar Lukas.

Menurut Lukas, patut diketahui bahwa Perpres 36/2005 lahir dari rahim kapitalisme, di mana keputusan peraturan akan senantiasa membahagiakan segelintir orang (orang-orang bermodal besar, baik lokal maupun asing) dan akan menyisakan penderitaan bagi mayoritas rakyat.
Seharusnya kalau mau menyelesaikan sengketa tanah dengan cara kompromi, pemerintah mengundang semua orang yang terlibat dalam persoalan itu. Selama itu tidak bisa dilakukan, jalur kompromi tidak akan menghasilkan keadilan, Tuntutan dari pihak-pihak yang dirugikan akan terus menerus bermunculan. Ketika jalur kompromi ini sudah bisa disepakati semua pihak, maka akan muncul akta perdamaian.

“Saya bisa memahami posisi pemerintah, agar pihaknya terhindar dari rasa nalu, tetapi yang terjadi malah semakin banyak dipermalukan, baik di dalam mapun luar negeri. Belum lagi, kalau kemudian pemerintah digugat oleh Kerajaan Arab, apakah tidak semakin malu,” katanya.

Di samping pemerintah ceroboh, Lukas menilai eksekutif terlampau jauh campur tangan terhadap yudikatif. “Bagaimana hukum bisa ditegakkan kalau penguasa bisa menjadi eksekutor dari persoalam-persoalan hukum yang terjadi di negeri ini,” katanya.

Kasus Kedubes Arab sungguh ironis. Sebab, kasus ini terjadi di saat pemerintah tengah gembar-gembor menyuarakan pentingnya supremasi hokum, tetapi pemerintah sendiri berselingkuh dengan lembaga hukum untuk mencari jalan pintas.

Lukas menyayangkan keputusan pemerintah yang meminta pihak penggugat untuk mencabut gugatannya di Mahkama Agung. Pemerintah sungguh tidak memahami perjuangan seperti apa yang ditempuh oleh pencari keadilan. “Ketika keadilan hampir diperolehnya, tiba-tiba dipotong oleh kekuasaan, yang keputusannya tidak ada kaitannya dengan perjuangan hukum yang ditempuhnya. Ini sungguh miris,” katanya.

Terjadinya kasus-kasus pertanahan, Lukas menyimpulkan ada tiga faktor yang menjadi penyebab: Pertama, sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Adanya sertifikat kepemilikan tanah ganda. Kedua, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah ini—baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian—telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Ketiga, legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal, banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.
Sri Widodo.

Senin, 13 Oktober 2008

Kemelut PT Dong Joe Indonesia, Hak Karyawan Diabaikan

Impian ribuan karyawan PT Dong Joe Indonesia untuk mendapatkan haknya, tampaknya semakin tipis. Setelah berhenti beroperasi dan ditinggal kabur pemiliknya, Kim Chun Keun dan Cheon Seong Ho (keduanya warga Korea Selatan), kini nasib 6300 karyawannya terkatung-katung. Gaji karyawan selama enam bulan belum dibayar.

Keadaan lebih parah lagi ketika perusahaan pembuat sepatu Reebok tersebut digugat pailit oleh PT Dinamika Van Asia di Pengadilan Niaga Jakarta. Belakangan diketahui PT Dinamika Van Asia ternyata perusahaan bonek milik PT Dong Joe Indonesia. Borok ini terungkap karena salah satu direksi PT Dinamika juga merupakan direksi PT Dong Joe. Perselingkuhan antara PT Dong Joe dengan PT Dinamika Van Asia, tidak lain adalah untuk menghindari tanggung jawab PT Dong Joe terhadap karyawan.

Sebelumnya PT Dong Joe juga digugat pailit oleh PT Gaya Makmur di Pengadilan Niaga Jakarta. PT Gaya Makmur Indonesia membeberkan piutangnya yang belum terbayar dan memohon agar PT Dong Joe dinyatakan pailit. PT Gaya Makmur Indonesia adalah salah satu rekan bisnis PT Dong Joe di bidang perdagangan mesin jahit, suku cadang, dan jasa perawatan mesin-mesin tersebut. Syahdan, perusahaan sepatu yang pernah menduduki peringkat 10 daftar pabrik sepatu terbesar di Indonesia itu meneken perjanjian senilai Rp 133,1 miliar. Kontrak itu ditujukan untuk membeli mesin-mesin jahit dan jasa perawatannya. Lantas diterbitkanlah bilyet giro pada 10 September 2006 dan jatuh tempo pada 25 September 2006. Namun, PT Gaya Makmur Indonesia kecewa karena bilyet tersebut ditolak oleh Bank Permata karena tidak ada dananya. Hingga saat ini, tulis Defrizal (kuasa hukum PT Gaya Makmur Indonesia dalam permohonan pailitnya), kliennya belum mendapatkan pembayaran.

Rebutan harta sisa milik PT Dong Joe, baik yang dilakukan oleh PT Dinamika Van Asia, PT Gaya Makmur, dan juga rekanan PT Dong Joe lainnya, hanya menyisakan penderitaan buat karyawan PT Dong Joe Indonesia. Ketua Serikat Pekerja PT Dong Joe Indonesia, Joko W., mengingatkan agar para pengambil kebijakan bisa memperhatikan nasib karyawan. Karyawan adalah satu pilar penting dalam sebuah perusahaan. “Apalagi, gugatan karyawan terhadapPT Dong Joe dikabulkan Pengadilan Hubungan Industrial, maka tidak ada alasan bagi PT Dong Joe untuk mengelak dari tanggung jawab,” katanya kepada The Jakarta Review.

Sementara kuasa hukum PT Dong Joe Indonesia, Ahmad Taman, dalam berkas jawabannya mengungkapkan bahwa permohonan pailit yang diajukan oleh PT Gaya Makmur Indonesia dapat dikabulkan oleh majelis hakim. Hanya saja, Ahmad tak lantas menyerah begitu saja. Kepada majelis hakim dia meminta agar kreditor-kreditor lain dari PT Dong Joe dihadirkan ke muka persidangan. Soalnya, demikian Ahmad, ada tiga pihak lain yang memiliki piutang lebih besar, yakni Bank BRI, Bank Ekspor Indonesia, dan Bank Central Asia.

Ketiga bank tersebut, demikian Ahmad, selain merupakan kreditor besar—jika dilihat dari sisi nilai utangnya—juga memiliki hak istimewa karena memegang jaminan aset dari PT Dong Joe. Apalagi, bank-bank dimaksud tengah membentuk tim yang mencoba membantu agar pabrik sepatu yang kini memiliki 6.300 karyawan itu tetap berjalan. Berkat toleransi dan bantuan finansial yang diberikan oleh ketiga kreditor itu, kata Ahmad, kliennya bisa memberikan gaji bulan Oktober 2006 dan tunjangan hari raya. ”Ketiga kreditor itu berkomitmen agar klien kami tidak bangkrut,” tulis Ahmad dalam jawabannya.

Sekadar menengkok ke belakang, pada 14 Oktober 2006 lalu PT Dong Joe menghentikan produksinya. Cheon Seong Ho lantas kabur dari Indonesia. Padahal, pengusaha asal Korea Selatan itu meninggalkan utang ratusan miliar rupiah dan puluhan ribu buruh.

Bisnis alas kaki itu dirintis pada tahun 1991. Pabrik sepatu itu rupanya berkembang pesat. Lantas didirikanlah pabrik sepatu lainnya, PT Spotec. Dengan dua perusahaan itu, tahun lalu kapasitas produksinya mencapai 4,5 juta pasang atau sekitar 12,5% dari total kapasitas produksi sepatu di Indonesia. Kalangan perbankan pun melirik usaha itu. Maka Bank Rakyat Indonesia mengucurkan pinjaman sebesar Rp 200 miliar untuk PT Dong Joe dan Bank Mandiri menggelontorkan dana berupa kredit investasi senilai Rp 133,46 miliar ke PT Spotec.

Jika duit kedua bank itu ditotal, kredit yang berhasil dikantongi dan dibawa kabur produsen sepatu merek Reebok, Rockport, Perry Ellis, Spotec, dan Adidas ini mencapai Rp 333,46 miliar. Enak tenan. (Ditulis oleh Nana Sutrisna).


Hak-Hak Karyawan Dikangkangi Kurator

Nasib ribuan mantan karyawan PT Dong Joe sebenarnya hampir mendekati titik terang. Namun dihalang-halangi kurator.

Hal ini disampaikan oleh Joko W., ketua Serikat Pekerja PT Dong Joe Indonesia. Kepada The Jakarta Review, Joko menegaskan bahwa pada pertengahan puasa tahun 2008, mantan karyawan PT Dong Joe Indonesia hendak menjual besi tua milik PT Dong Joe kepada Badan Pelaksana Pendidikan Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP). Jual beli ini atas permintaan perwakilan karyawan berdasar atas putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Serang dengan nomor perkara 11/G/2008/PHI Srg, dan penetapan: 05/PEN.AAN/2008/PHI.SRG,Jo.Nomor 11/G/2008/PHI.SRG.

Tapi proses jual beli tertunda karena lokasi pabrik dikuasai oleh kurator Hasan Abdullah dan Carly Simanjuntak. Penegasan ini disampaikan oleh Ismail Ketua Serikat Pekerja Nasional, dan Joko W., ketua Serikat Pekerja PT Dong Joe Indonesia.

Ismail menyayangkan kurator yang menghalang-halangi proses eksekusi. Sebab, apa yang ia lakukan sesuai dengan putusan hukum. Putusan hukum yang dimaksud adalah putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Serang mengeluarkan penetapan untuk memenuhi putusan perkara 11/G/2008/PHI Srg, dengan mengeluarkan teguran/aanmaning dengan penetapan: 05/PEN.AAN/2008/PHI.SRG,Jo.Nomor 11/G/2008/PHI.SRG

Atas teguran tersebut Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Serang mengeluarkan dan meletakkan sita sesuai penetapan tertanggal 04 Juni 2008, No : 05/Pen.Sita.Eks/2008/PHI.Srg.Jo.No.11/G2008/PHI.Srg atas beberapa harta atau aset PT. Dong Joe Indonesia sebagaimana tertera dalam berita ascara penetapan sita eksekusi pada tanggal 9 Juni 2008.

Ceritanya adalah, atas dasar sita eksekusi dimaksud, karyawan mengajukan Permohonan penjualan barang-barang pabrik kepada Ketua Pengadilan Negeri Serang. Pihak karyawan kemudian hendak menjual barang-barang tersebut kepada Badan Pelaksana Pendidikan Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP), namun dihadang oleh kurator Hasan Abdullah dan Carly Simanjuntak.

Ternyata, sebelum ada putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), PT. Dong Joe Indonesia telah digugat pailitan oleh PT Dinamika Van Asia dengan nomor putusan: 46/Pailit/2006PN.Niaga Jkt.Pst. Untuk mengurus asset, PHI menunjuk kurator M.Ismak, SH dkk. Namun putusan pailit tersebut ditolak oleh Makamah Agung berdasarkan putusan kasasi No. : 05/K/N/2007, tanggal 20 Maret 2007. Dengan adanya putusan tersebut, seluruh kegiatan Perusahaan kembali kepada manajemen.

Belakangan PT Dinamika mengajukan gugatan pailit lagi terhadap PT Dong Joe Indonesia. Gugatan ini dikabulkan dengan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.22/Pailit/PN.Niaga/JKT/Pst, tanggal 16 Juni 2008. Atas permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Dinamika Van Asia dan salah satu kreditur lainnya dengan menunjuk Kurator Sdr. Hasan Abdullah dan Carly Simanjuntak dan mengangkat Sdr. Panji Widagdo, SH.M.Hum, Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas dalam kepailitan ini.

Dengan putusnya kepailitan tersebut seluruh karyawan menjadi resah dan mengajukan kasasi ke Mahkahmah Agung, namun permohonan tersebut “ DITOLAK”, bahwa sangat ironis putusan Mahkamah Agung dalam salinan aslinya tidak tercantum alasan pertimbangan hukum terhadap amar putusan.

Dengan putusan kepailitan tersebut pihak kurator melakukan pengamanan dan penjagaan di lokasi pabrik.

Joko dan Ismail menilai lokasi pabrik sangat mencekam. "Sudah mirip perang," kata Joko.

PT. Dong Joe Indonesia didirikan Pada tanggal 7 September 1988 dengan akte notaries Milly Karmila Sareal, SH dengan akte No. 7 dengan susunan pengurus: Presiden Direktur Tuan Cheon Seong Ho, Direktur Tuan Kim Jae Yu, Warga Negara Korea, Presiden Komisaris Utama Tuan OH Dong Hee, Warga Negara Korea, Komisaris Tuan Ir.Suherman, Warga Negara Indonesia.

PT. Dong Joe Indonesia bergerak dalam bidang produksi sepatu kualitas eksport merk Reebok dengan mempekerjakan karyawan sebanyak 6.306 orang.

Sejak tanggal 15 April PT. Dong Joe Indonesia berhenti beroperasi, sehingga seluruh karyawannya dirumahkan. Selama dirumahkan, para karyawan tidak diberi tunnjangan. Akhirnya para karyawan di bawah naungan SPS PT Dong Joe mencari penyelesaian dengan mengadukan permasalahan ini ke Disnaker Kabupaten Tangerang. Akhirnya disepakati beberapa hal antara lain:

1. Hubungan kerja antara pekerja dengan Perusahaan putus sejak 16 April 2007.
2. PT Dong Joe Indonesia membayar pesangon 1 kali sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 156 ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003.
3. PT Dong Joe Indonesia membayar upah selama pekerja dirumahkan dari tanggal 16 Oktober 2006 sampai dengan 16 April 2007. (Ditulis oleh: Sadewo).