Sebulan terakhir ini ketegasan dan keperkasaan menjadi kata yang cukup dominan. Publik seakan gemas, ketegasan dan keperkasaan yang didambakan dari para pemimpin tak kunjung datang. Sebagai bangsa yang berdaulat, mustinya kita memiliki harga diri di mata dunia internasional. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, pemimpin bangsa ini loyo dan nyaris tak berdaya.
Belum usai perbincangan soal barter petugas DKP dengan nelayan pencuri ikan berkebangsaan Malaysia, masyarakat kembali mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan tumpahan minyak di Laut Timor. Dari obrolan warung kopi hingga anjungan kafe papan atas, semua menyesalkan lemahnya diplomasi bangsa ini.
Dalam menghadapi pencemaran Laut Timor, Menteri Luar Negeri Kabinet Indonesia Bersatu II, Marty Natalegawa memang telah membentuk panitia nasional. Meski telat tiga bulan setelah bencana itu muncul, toh Masyarakat NTT menyambutnya dengan gembira. Namun setelah tim itu dibentuk, belum ada tindakan kongkret yang dihasilkan. Buntutnya, publik NTT kecewa dengan sikap pemerintah yang dinilai kurang memberikan perhatian serius terhadap bencana itu.
Bencana di Laut Timor itu tidak hanya meresahkan para nelayan, tetapi juga terumbu karang dan ikan yang berada di perairan tersebut ikut tercemar bahkan mati. Tidak heran, kalau masyarakat NTT selalu berteriak menyuarakan bahaya pencemaran tersebut, karena setiap hari memuntahkan 500.000 liter minyak mentah ke laut itu.
Pemerintah tampaknya memandang sepele tumpahan minyak di Laut Timor, sehingga mereka lebih suka berpikir cerita-cerita lain yang dimainkan bukan menanggulangi atau melindungi negeri ini dari bencana yang merusak lingkungan dan biota laut itu. Mereka lebih suka bermimpi, termasuk mimpi mengamendemen konstitusi hasil amendemen, agar Susilo Bambang Yudhoyono, presiden yang saat ini berkuasa, dimungkinkan dipilih lagi untuk masa jabatan lima tahun ketiga. Padahal sejujurnya, banyak masalah lain yang lebih urgent untuk diselesaikan.
Berbeda sekali dengan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, ketika menghadapi rumpahan minyak di Teluk Meksiko. Di hari kedua, dia langsung mengatakan bahwa British Petroleum (BP) yang bertanggung jawab, karena BP yang melakukan ini, dan BP harus menyimpan uang untuk menanggulangi masalah ini.
Oleh karena itu pemerintah itu seharusnya menyerahkan kepada ahlinya, bukan diserahkan ke Kementerian Luar Negeri yang nyata-nyata tidak mengerti masalah Migas. Kasus barter petugas DPP dan pencuri Malaysia, sudah sangat gamblang menunjukkan betapa “perkasanya” diplomasi Marty Natalegawa.
Majalah GEOENERGI diterbitkan oleh PT Multi Media Internetindo.
Pemimpin Umum: DR. Rubiyanto
Wakil Pemimpin Umum: Sabrun Djamil
Pemimpin Redaksi: Sri Widodo Soetardjowiyono
Wakil Pemimpin Redaksi: Rakhmat Bernadi
Reporter: Yuli Dwi Ermawati, Ade Kurniawan
Fotografer: Muhammad Adiyansyah
Desain: Syamsul Arifin
Promosi dan Iklan: Yaya Suryadarma
Marketing: Rr. Wulandari, Muksin
Sekretaris: Ritha Chairunnisa
Distribusi dan Sirkulasi: Rudi Kamaluddin, Karyono
Alamat Redaksi: Perniagaan Rawasari Mas Blok B-19, Jalan Percetakan Negara , Jakarta Pusat, Telp. (021) 4240129, Faks. (021) 4240315, Email: geoenergi@yahoo.com.
Minggu, 19 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar