Senin, 10 November 2008

Satu Jam di Bunaken

Sebelum melihat Manado, saya sering mendengar kota ini dikenal dengan nama Nyiur Melambai. Kota ini berada di areal seluas 27.515 hektar terletak di antara 0°30 – 4°30 NL dan 121°– 127° EL. Provinsi dengan ibukota Manado ini terdiri dari Minahasa, Minahasa Utara, Manado, Minahasa Selatan, Tomohon, Bitung, Bolaang Mongondow, Sangihe dan Talaud, memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi, tumbuhnya berbagai macam tanaman hias, melimpahnya tumbuhan komoditi seperti sayuran, buahan, juga berbagai macam fauna yang hidup terpelihara dalam taman nasional. Sulut juga menjadi gudang penghasil kopra, cengkeh, pala, dan kekayaan alam lainnya. Yang tidak kalah mashur adalah keramahan penduduknya yang kemudian dikenal sebagai smiling people.

Sebelum melihat Manado, saya tidak pernah punya bayangan apapun tentang pulau ini. Yang terbayang hanya Empat Be, yang sering dilontarkan oleh teman yang sudah sering ke “Pulau Surga” ini. B pertama, bubur Manado yang nama aslinya tinetuan, B kedua Boulevard yaitu jalan sepanjang Jl. Tendean di bibir pantai, tempat nongkrong para anak muda. B berikutnya adalah Bunaken, yaitu Taman Laut Pulau Bunaken yang keindahannya terkenal seantero dunia. B berikutnya Bibir cewek Manado yang tipis dan menggoda. Tapi ada juga yang menambahi menjadi Lima B. B yang kelima adalah bangkrut, sebab ongkos liburan ke Manado, lima kali lebih mahal ketimbang ke Bali. Bibir cewek Manado sepuluh kali lebih mahal ketimbang bibir cewek Jakarta.

Sebelum melihat Manado, saya juga mendengar adanya istilah, “kota sejuta lubang”. Awalnya saya pikir, hanya joke saja, tetapi ternyata ada benarnya, terutama di jalan-jalan kecil. Di sana banyak lubang di jalan-jalan, kecuali di jalan protokol terlihat lebih mulus. Kondisi ini masih diperparah dengan adanya angkot warna biru yang ditulisi Bus Kota. Emanuel, sopir angkot, eh sopir Bus Kota, menyebutnya dengan “lalat biru”. Ya, seperti lalat, dia mengerubuti calon penumpang hingga membuat jalanan macet.

Angkot di Manado dilengkapi dengan audio yang tidak kalah hebat dengan mobil pribadi. Di jok bagian belakang, audio disetting sedemikian hebat, sehingga menimbulkan suara yang bagus dan nyaring. Tidak cempreng layaknya angkot jurusan Grogol-Kalideres. Angkot di Manado, tempat duduknya menghadap ke depan semua, nyaman bagaikan mobil seorang pegawai negeri golongan empat. Isinya pun terbatas, paling banyak 7 penumpang, tidak seperti angkot jurusan Blok M-Pondok Aren yang dijejali 21 penumpang.

Tarif angkot di Manado cukup mahal. Untuk jarak dekat (kurang dari satu kilo), penumpang harus membayar ongkos 3 ribu rupiah.Beda dengan di Jakarta, yang cuma bayar seribu, meski agak memaksa.

Mengapa jok angkot dibikin menghadap ke depan semua, dan mengapa ada beberapa spion di atas dashboard? Ternyata ada alasan yang luar biasa logis. James, sang sopir angkot, ketika saya tanya, dengan senyum menjawab,”Itu untuk melihat ’anu’ kalau penumpang cewek pakai rok pendek….” Kreatif juga,” pikirku, he..he...

Sopir angkot di Manado rata-rata masih muda, berkisar 17-25 tahun. Maka, tak heran jika di sepanjang jalan, suara musiknya berdentum-dentum super keras bagaikan diskotik berjalan. Mungkin kegemaran masyarakat Manado berdisko, hingga terbawa-bawa saat mengemudi.

Pemandangan di kota Manado sungguh indah dan mempesona. Tidak pernah saya jumpai di kota-kota lain di Indonesia. Perpaduan antara nuansa gunung, bukit, dan pantai menimbulkan harmoni yang menakjubkan. Dari atap lantai Hotel Ritzy yang terdiri dari 11 lantai, di pinggir Selat Manado, saya merekam pemandangan yang cantik. Gunung Mahawu dan Gunung Lokon tampak menjulang tinggi. Danau Tondano, bukit-bukit hijau yang penuh pohon kelapa, dan laut yang membiru. Ada kapal datang dan pergi, tampak bagaikan angsa yang tengah berenang.

Menara dan kubah masjid tampak hidup rukun berdampingan dengan gereja yang beratap mengerucut tinggi. Di puncak bukit terlihat sebuah salib besar berwarna putih menjulang tinggi. Terlihat cantik sekali. Suara azan Maghrib terdengar di tengah kota yang sebagian besar umat Katholik, sungguh melahirkan kedamaian tersendiri.

Pagi harinya saya berkeliling menumpang angkot mengitari kota Manado. Hampir tidak ada pengemis dan pengamen di sepanjang jalan, dua hal yang haram buat masyarakat Manado. Mengemis adalah perbuatan yang memalukan. Bila ingin meminta sesuatu atau sumbangan masyarakat Manado biasanya dengan menyodorkan barang untuk dibeli. Ada beberapa anak kecil menawarkan jajanan khas Manado: kacang goreng.

Jika sudah sampai di Manado, rasanya belum puas kalau tidak mampir ke Pulau Bunaken yang terkenal di seantero dunia. Bahkan ketenarannya melebihi Indonesia. Dari Hotel Ritzy, kami naik perahu tempel carteran berukuran sedang. Perahu ini bisa mengangkut 15-an orang. Kata pemandu, harga sewanya Rp 1.100.000 pergi-pulang. Maklum kami ini tinggal naik doang. Katanya bisa berubah-ubah. Terkadang bisa lebih murah atau lebih mahal, sebab di dermaga banyak calo yang menawarkan. Kalau mau irit, ada harga yang lebih murah, dengan naik semacam angkot lautnya. Dari Manado berangkat jam 08.00 dengan tiket Rp4.000 per orang. Nanti pulangnya naik kapal itu juga sekitar jam 14.00 dengan tarif yang sama.

Di Bunaken konon ada lebih dari 2000 spesies ikan. Ada beberapa jenis ikan langka seperti ikan ghost pipe, ikan katak, kuda laut pygmy, coelacanths, dugong, orcas dan sperm whales. Juga batu karangnya yang terkenal bagus. Pulau tersebut juga ditempati penduduk sekitar 30.000 orang dalam 22 desa. Mata pencaharian penduduk kebanyakan petani dan nelayan.
Kami menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari teras hotel Ritzy ke Bunaken. Kalau ombak besar, pemandu tidak mau berangkat. Tapi, para pemandu sudah hafal kapan ombak besar akan muncul.

Pada pemandangan yang lain saya melihat dengan jelas Pulau Manado Tua yang berbentuk seperti gundukan tanah cembung. Akhirnya kami merapat di Bunaken untuk membeli minuman dan peralatan menyelam. Seperti halnya di daerah wisata lainnya, banyak orang jualan souvenir khas daerah. Terpikir keisengan saya, dengan menanyakan harga kaos dengan bahasas Jawa,”Piro regane Bu” (berapa harganya). Herannya, penjual kaos menjawab dengan bahasa Jawa kromo halus. “Kalih doso ewu, Mas.” (dua puluh ribu). Duh, ternyata benar, banyak sekali orang Jawa di dunia ini.

Di Pulau Bunaken ini terhampar pasir putih yang indah, kecipak ombak yang tenang, dan bertebaran hewan laut kecil-kecil. Kata pemandu kami, di pulau ini ada 22 rumah penginapan sederhana dengan ornamen kayu. Tarifnya semalam, sekitar Rp125 ribu per orang termasuk makan 3 x sehari.

Kami berkeliling melihat-lihat keindahan laut. Memang banyak ragam ikan-ikan hiasnya, tapi taman batu karangnya sudah banyak yang mati. Sungguh indah dan enak menikmatinya dengan menyelam atau snorkeling. Saya hanya bisa menikmati 3 Be dari 4 Be yang tersedia. Bubur, Boulevard dan Bunaken sudah kami rasakan, hanya tinggal Bibir yang belum. Maklum, Mahal Bo!
Sri Widodo

Tidak ada komentar: