
Suryadi juga meminta pemerintah agar segera menyiapkan infrastruktur pipa gas secara terpadu. Tidak hanya itu, pemerintah perlu menyiapkan managemen gas yang mengatur kebutuhan gas secara nasional, baik untuk PLN maupun untuk industri yang lain.
Sementara itu Marwan Batubara, Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) menilai pemerintah tak serius menjaga dan memperbaiki ketahanan energi nasional. RUU Migas yang sudah diajukan sejak tahun 2004, sampai hari ini belum ada kejelasan. Ini menunjukkan pemerintah tak memiliki keseriusan menangani persoalan energi.
Dalam acara yang digagas oleh Majalah GEO ENERGI tersebut, Marwan menegaskan bahwa RUU tersebut juga pernah ditolak

Dalam soal pasokan gas, Marwan juga menilai pemerintah tidak adil. Sebetulnya, boleh saja pemerintah ekspor gas, tetapi pemerintah harus mempersiapkan cdangan dan sumber gas lainnya. Misalnya impor dari Iran atau Qatar yang memiliki kandungan gas sangat besar. “Silahkan eksor, tetapi harus dipikirkan konsumsi dalam negeri,” paparnya.
Akibatnya, kata Marwan, PLN jalan sendiri dan para industry juga membangun jaringan sendiri. Makanya, pemerintah harus punya peran besar.
Sement

Ke depan pemerintah akan mempersiapkan infrastruktur untuk mengalirkan gas dari Masela, Bontang dan Tangguh. Meski demikian, kita harus sabar, karena sejak sekarang sampai 2019, kita masih akan mengalami defisit gas. Namun, untuk Sumut, pada 2019 sudah tidak defisit. Yang jelas, lanjut Elan, saat ini kita butuh infrastruktur.
Daniel Purba, Vice President Engineering and Project Pertamina menegaskan bahwa urusan gas berbeda dengan minyak. Kalau minyak boleh dijual ke siapa saja, sedangkan gas tidak bisa dijual sembarangan. “Soal LNG, pemerintah tidak bisa sembarangan kepada pembeli,” katanya.
Membangun LNG kata Daniel, tidak semudah membangun ICP. “Kilang LNG tidak akan dibangun jika tidak ada kepastian pembeli. Sedangkan proses negosiasi memakan waktu cukup lama. Bisa 3-5 tahun,” paparnya.
Soal negosiasi ulang Blok Tangguh, menurut Daniel, tidak semudah yang dikatakan banyak orang. “Tidak semudah itu meminta negosias ulang, ada implikasi legal dan bisa terkena penalty,” katanya. Ruslan Abdulgani.