“Itu tidak lazim,” kata praktisi hukum Lukas Sukarmadi. Persoalan tanah menurut Lukas biasanya merupakan perkara perdata, maka seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum.
Meski tidak lazim, Lukas bisa memahami campur tangan pemerintah di sini. “Ada masyarakat yang menggugat kedutaan besar negara asing, karena rasa malu, menyangkut harga diri bangsa, maka negara ikut campur tangan untuk mencari jalan tengah. Ini bisa saya pahami,” papar kepada Jakarta Review, Senin, 20 Oktober 2008.
Hanya saja, lanjut Lukas, dari kasus ini bisa ditarik kesimpulan bahwa pemerintah ceroboh, pemerintah tidak teliti, dan pemerintah mau enaknya sendiri. Padahal kalau pemerintah mau jujur mengakui, kesalahan itu jelas ada di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Mengapa sampai hari ini masih banyak terjadi kepemilikan dobel, bahkan lebih dari dua, tiga atau empat. Bukankah lembaga yang paling tahu soal pertanahan adalah BPN.
Campur tangan pemerintah dalam masalah tanah di Kedubes Arab itu hanya satu dari puluhan ribu kasus pertanahan yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh, kasus sengketa tanah di Pasuruan belum selesai, sudah timbul lagi kasus yang serupa di Rumpin, Bogor. Kedua kasus itu pun melibatkan persengketaan antara warga dengan TNI AL.
Kita juga masih ingat kasus SMP 56 Melawai Jakarta Selatan. Bagaimana terjadi persengketaan antara dinas pendidikan dengan Abdul Latif Corp. (pemilik modal) yang notabene daearah itu akan dibangun pusat bisnis. Belakangan, dari hasil persidangan dimenangkan oleh pihak pemilik modal. Masih banyak kasus persengketaan tanah lainnya. Anehnya, masalah ini seakan menjadi sebuah kewajaran.
Dalam kasus Kedubes Arab Saudi, pemerintah yang tadinya berharap nama baiknya akan tetap terpelihara, tetapi faktanya pemerintah tidak bisa menutupi kebobrokannya. “Kalau ada pemegang sertifikat tanah lebih dari tiga orang, sementara yang mengeluarkan surat tanah adalah BPN, lalu kepada siapa lagi kita mendapatkan keadilan atas tanah kita. Sertifikat ganda seperti itu sangat sering terjadi di Indonesia,” papar Lukas.
Pemilik Trisaka International Law Firm itu melihat, salah satu penyebab yang memunculkan masalah tanah adalah Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Ada dua hal yang perlu dipertanyakan dari Perpres ini yakni berkenaan pelepasan hak dan pencabutan hak. Di sini presiden punya keleluasaan untuk mencabut hak atas tanah. Apabila tidak tercapai kesepakatan antara pemilik tanah dengan panitia pengadaan tanah, maka ditempuh dengan proses yang cukup instan. Yakni hanya perlu waktu 90 hari untuk menyelesaikan prosesnya.
“Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, rakyat secara sukarela harus menyerahkan kepada pemerintah dengan dalih untuk kepentingan umum dan jika tidak mau tetap akan dirampas,” papar Lukas.
Menurut Lukas, patut diketahui bahwa Perpres 36/2005 lahir dari rahim kapitalisme, di mana keputusan peraturan akan senantiasa membahagiakan segelintir orang (orang-orang bermodal besar, baik lokal maupun asing) dan akan menyisakan penderitaan bagi mayoritas rakyat.
Seharusnya kalau mau menyelesaikan sengketa tanah dengan cara kompromi, pemerintah mengundang semua orang yang terlibat dalam persoalan itu. Selama itu tidak bisa dilakukan, jalur kompromi tidak akan menghasilkan keadilan, Tuntutan dari pihak-pihak yang dirugikan akan terus menerus bermunculan. Ketika jalur kompromi ini sudah bisa disepakati semua pihak, maka akan muncul akta perdamaian.
“Saya bisa memahami posisi pemerintah, agar pihaknya terhindar dari rasa nalu, tetapi yang terjadi malah semakin banyak dipermalukan, baik di dalam mapun luar negeri. Belum lagi, kalau kemudian pemerintah digugat oleh Kerajaan Arab, apakah tidak semakin malu,” katanya.
Di samping pemerintah ceroboh, Lukas menilai eksekutif terlampau jauh campur tangan terhadap yudikatif. “Bagaimana hukum bisa ditegakkan kalau penguasa bisa menjadi eksekutor dari persoalam-persoalan hukum yang terjadi di negeri ini,” katanya.
Kasus Kedubes Arab sungguh ironis. Sebab, kasus ini terjadi di saat pemerintah tengah gembar-gembor menyuarakan pentingnya supremasi hokum, tetapi pemerintah sendiri berselingkuh dengan lembaga hukum untuk mencari jalan pintas.
Lukas menyayangkan keputusan pemerintah yang meminta pihak penggugat untuk mencabut gugatannya di Mahkama Agung. Pemerintah sungguh tidak memahami perjuangan seperti apa yang ditempuh oleh pencari keadilan. “Ketika keadilan hampir diperolehnya, tiba-tiba dipotong oleh kekuasaan, yang keputusannya tidak ada kaitannya dengan perjuangan hukum yang ditempuhnya. Ini sungguh miris,” katanya.
Terjadinya kasus-kasus pertanahan, Lukas menyimpulkan ada tiga faktor yang menjadi penyebab: Pertama, sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Adanya sertifikat kepemilikan tanah ganda. Kedua, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah ini—baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian—telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Ketiga, legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal, banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.
Sri Widodo.